19 Februari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » "Agamis" Apa Artinya?

"Agamis" Apa Artinya?

Oleh Ajip Rosidi
Dalam surat kabar dan majalah Islam, sering kita baca istilah agamis, misalnya "Dia memang sangat agamis". Maksudnya, dia itu orang yang taat menjalankan agama yang dipeluknya dengan penuh keimanan. Kata dasarnya agama, mendapat akhiran is yang berasal dari bahasa Belanda yang menunjukkan sifat, tetapi vokal akhir a kata dasar dihilangkan. Kata agamais terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai entri. Artinya kata tersebut dianggap sebagai bahasa baku, karena KBBI hanya memuat kata-kata baku. Namun kata agamis tidak ada dalam KBBI. Sementara kata agama-is yang terdapat dalam KBBI hampir tidak pernah ditemukan dalam pemakaian sehari-hari. Anehnya di kalangan agama non-Islam, kata agamis tidak juga tampak digunakan. 
 

Penggunaan akhiran is dari bahasa Belanda untuk menunjukkan sifat, banyak digunakan dalam kata-kata yang dipungut dari bahasa Belanda. Dalam bahasa Belanda kata tersebut diberi akhiran isch, tisch, atau istisch yang ketika dicangkok ke dalam bahasa Indonesia menjadi akhiran is, tis, atau istis. Akhiran tersebut digunakan untuk menunjukkan sifat seperti pada kata politik menjadi politis, psikologi menjadi psikologis, taktik menjadi taktis, strategi menjadi strategis, drama menjadi dramatis, teori menjadi teoritis, kompromi menjadi kompromistis, dan lain-lain.
Dalam KBBI edisi I cetakan I (1988), agama-is diterangkan sebagai bersifat keagamaan. Akan tetapi, dalam KBBI edisi II cetakan I (1991), agama-is diterangkan sebagai orang yang beragama. Tak ada keterangan bagaimana nasib keterangan yang terdapat dalam edisi I-nya. Sayang pada saya tidak ada KBBI edisi yang lebih kemudian, sehingga tak dapat saya periksa apakah keterangan tentang agama-is berubah lagi.
Kalau agama-is dalam edisi I diterangkan sebagai bersifat keagamaan niscaya akhiran "is" di situ memang berasal dari bahasa Belanda yag menunjukkan sifat. Akan tetapi, karena dalam KBBI edisi II agama-is diterangkan sebagai orang yang beragama, jelas akhiran is di situ bukan berarti bersifat (keagamaan). Akhiran is di situ niscaya diambil dari bahasa Belanda (dan Inggris) juga yang menunjukkan orang yang melakukan kata kerja yang bersangkutan, misalnya activist, journalist, propagandist, pacifist, dan lain-lain. Berlainan dengan akhiran is dalam kata-kata politis, psikologis, dan lain-lain yang berasal dari bahasa Belanda isch, maka is dalam aktivis dan propagandis diambil dari bahasa Belanda (dan Inggris) yang ditulis ist. Dalam bahasa Indonesia keduanya menjadi sama-sama ditulis is.
Maka jelaslah bahwa keterangan tentang agama-is dalam KBBI edisi I disebabkan penulisnya menganggap bahwa akhiran is di situ diambil dari akhiran isch bahasa Belanda, sehingga keterangannya berbunyi, bersifat keagamaan. Sementara penulis KBBI edisi II menganggap akhiran is di situ berasal dari bahasa Belanda (atau Inggris) ist, sehingga keterangannya berbunyi orang yang beragama.
Karena KBBI adalah kamus induk yang seharusnya menjadi pegangan semua orang dalam berbahasa Indonesia, hal itu menimbulkan persoalan yang tidak sederhana. Kalau akhiran is dari bahasa Belanda itu kita terima untuk digunakan dalam bahasa Indonesia, maka timbul pertanyaan, akhiran is yang mana yang kita terima isch ataukah ist? (Penyusun) KBBI edisi I tampaknya menerima is yang berasal dari isch, sedangkan (penyusun) KBBI edisi II menerima is yang berasal dari ist, sekaligus menidakkan is yang berasal dari isch.
Dalam praktik tampaknya baik yang berasal dari isch maupun yang berasal dari ist digunakan secara leluasa. Kata agamis (bukan agama-is) misalnya digunakan untuk arti orang yang beragama maupun untuk arti bersifat keagamaan. Padahal KBBI hanya mengakui salah satu dari keduanya. Edisi yang pertama mengakui yang berarti bersifat keagamaan (dari isch), sedangkan edisi II mengakui yang berarti orang yang beragama (dari ist).
Fungsi kamus ekabahasa sebenarnya mendaftarkan kata-kata yang terdapat dan dipergunakan dalam sesuatu bahasa sebanyak mungkin sehingga dapat memperlihatkan kekayaan bahasa tersebut. Dalam praktik memang ada kata-kata yang diterima secara umum disebut sebagai bahasa baku, ada pula kata-kata yang tidak digunakan secara umum tetapi hanya digunakan di lingkungan tertentu. Kata-kata jenis kedua juga seharusnya dijadikan entri kamus ekabahasa, walaupun bisa saja diberi tanda bahwa kata-kata tersebut bersifat nonbaku. Demikian juga kalau ada kata yang mempunyai beberapa arti, maka semuanya harus diterangkan. Tidak boleh dalam sebuah edisi yang diterangkan hanya satu arti sedangkan arti yang lain baru diterangkan dalam edisi yang lain.
Untuk itu seharusnya (para) penyusun kamus mencermati setiap penggunaan bahasa dalam berbagai penerbitan dan penyiaran (lisan). Keistimewaan KBBI di dalamnya ada dimuat "Pustaka Acuan", padahal kamus-kamus lain tidak pernah memuatkan pustaka acuannya. Namun, kalau kita perhatikan daftar "Pustaka Acuan" KBBI, tidak kita temukan satu pun karya sastra yang dijadikan sebagai acuan. Yang tercantum dalam "Pustaka Acuan" kebanyakan hanyalah kamus-kamus dan daftar-daftar istilah. Oleh karena itu, dapat dimengerti kalau entri KBBI terutama kata-kata yang terdapat dalam kamus-kamus dan daftar istilah saja. Padahal kehidupan setiap bahasa haruslah dicermati dalam kekayaan sastranya, di samping penggunaan bahasa tersebut dalam pers baik tertulis maupun lisan. Dalam "Pustaka Acuan" KBBI bukan saja tidak terdapat judul karya sastra satu pun, tetapi nama surat kabar atau majalah pun tidak ada. Konon pula radio-radio dan stasiun televisi, bahasa yang digunakannya sangat besar memengaruhi pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari dalam masyarakat.***
Penulis, budayawan. 

OPini Pikiran Rakyat 20 Februari 2010