18 April 2010

» Home » Okezone » Allan Nairn, Reformasi Militer, dan Perdamaian Aceh

Allan Nairn, Reformasi Militer, dan Perdamaian Aceh

Wartawan Amerika Serikat Allan Nairn menulis suatu laporan jurnalistik investigatif tentang pembunuhan politik yang dilakukan prajurit TNI.

Di awal laporan yang dipublikasikan tanggal 21 Maret 2010 tersebut, Nairn menyebutkan, “Beberapa pejabat tinggi pemerintahan dan Kepolisian Republik Indonesia menyebutkan TNI berada di balik pembunuhan aktivis di tahun 2009. Serangkaian pembunuhan tersebut merupakan bagian dari program rahasia Pemerintah Indonesia yang didukung Jakarta, yang sebagian pelaksanaannya dikoordinasikan oleh seorang jenderal Kopassus yang pernah mendapat pelatihan di Amerika Serikat. Jenderal ini mengakui anak buahnya berada di balik rangkaian pembunuhan tersebut. ”Laporan investigasi Allan Nairn ini merupakan tuduhan serius yang tidak saja terkait dengan masa depan reformasi militer, tetapi juga dengan perdamaian Aceh.

Reformasi Militer


Ada tiga tuduhan Nairn yang terkait dengan reformasi militer. Pertama, TNI tetap mempertahankan karakter tentara politik. Nairn menuduh TNI menggelar operasi-operasi rahasia yang bermotif politik untuk menekan politisi Partai Aceh agar tidak menyuarakan garis politik kemerdekaan Aceh. Tuduhan itu tentu bertentangan dengan prinsip netralitas politik yang terus-menerus disampaikan Mabes TNI sejak pelaksanaan Pemilu 2004.

Secara institusional, Panglima TNI Jenderal TNI Djoko Santoso telah mengeluarkan buku saku Pedoman Netralitas TNI dalam Pemilu dan Pilkada. Pedoman ini dibuat untuk menjaga agar TNI tidak kembali ke ranah politik. Kedua, TNI tidak mematuhi prinsip kendali demokratis atas militer. Nairn menyatakan bahwa dia mendapat laporan dari seorang jenderal Kopassus yang membantu jalannya operasi rahasia pembunuhan politik di Aceh.

Jenderal Kopassus ini mengungkapkan bahwa operasi pembunuhan terencana tersebut dirancang TNI yang dikoordinasikan pada Pangdam Iskandar Muda Mayor Jenderal TNI Sunarko yang pernah menjabat sebagai Kepala Satgas Intelijen Kopassus di Timor Timur dan Komandan Jenderal Kopassus. Nairn juga mengindikasikan k emungkinan keterlibatan Dandim 0111/ Bireuen Letkol Infanteri R Suharto yang juga pernah bertugas di Kopassus dalam operasi tersebut.

Keterlibatan perwira-perwira Kopassus ini menjadi indikasi bahwa operasi rahasia di Aceh dilakukan oleh satuan Kopassus. Indikasi ini jelas-jelas bertentangan dengan prinsip kendali demokratis atas militer yang mensyaratkan agar seluruh operasi TNI didahului oleh suatu perintah pengerahan dan penggunaan kekuatan. Perintah tersebut diberikan oleh pejabat politik pertahanan yang kemudian diterjemahkan menjadi perintah penugasan.

Sejak 2007, dalam Rencana Penugasan Satuan Tugas Operasi yang disusun oleh Staf Umum Operasi Angkatan Darat, tidak ada lagi gelar satuan Kopassus di Aceh. Batalion 11 dan 13 Parako yang pernah ditugasi di Aceh telah ditarik dan dialihtugaskan ke Papua. Batalion 12/Parako yang menjadi Tim Sandi Yudha Aceh dan Batalion 21/Parako yang ditugasi sebagai Satuan Tugas Intel Aceh juga telah ditarik. Ketiga, TNI mengabaikan prinsip-prinsip HAM dalam melaksanakan operasinya.

Dalam laporannya, Nairn mengungkapkan pembunuhan Dedi Noviandi alias Abu Karim (33), caleg PA dari wilayah Bireuen. Abu Karim tewas tertembak dalam mobilnya di depan rumahnya di Pulo Kiton, Bireuen, Nairn mengungkapkan bahwa “pembunuhan ini merupakan bagian dari pembunuhan terencana yang dirancang TNI, yang dikoordinasikan pada Pangdam Iskandar Muda Mayor Jenderal TNI Sunarko”.

Pembunuhan ini jelas bertentangan dengan buku saku Pedoman Prajurit TNI AD dalam penerapan Hak Asasi Manusia. Pedoman ini diterbitkan 30 Mei 2000 dan ditandatangani oleh Letnan Jenderal TNI Endiartono Sutarto yang saat itu menjabat sebagai Wakil Kepala Staf TNI-AD. Dalam pedoman tersebut, butir 5 huruf a mengatur perihal larangan bagi prajurit TNI AD untuk melakukan pembunuhan dan penyiksaan; butir 5 huruf b melarang prajurit TNI AD untuk menghilangkan orang lain.

Perdamaian Aceh

Berkaitan dengan perdamaian Aceh, Allan Nairn secara implisit menyatakan bahwa TNI melanggar kesepakatan Helsinski dengan kembali menggelar pasukan nonorganik dari luar Kodam Iskandar Muda untuk melaksanakan operasi di Aceh. Untuk kasus pembunuhan Abu Karim, misalnya, Nairn berusaha untuk menjadikan Dandim 0111/Bireuen Letkol Infanteri R Suharto sebagai pelaksana utama operasi.

Nairn menyatakan bahwa “pembunuhan Abu Karim di Bireuen dilakukan oleh Letkol R Suharto atas perintah Jenderal Sunarko. Letkol R Suharto, komandan lokal TNI, membunuh Abu Karim dengan mengerahkan perwira dan prajurit TNI dan dibantu milisi sipil yang pernah dibantu TNI seperti Forum Komunikasi Anak Bangsa (Forkab) dan Pembela Tanah Air (Peta)”.

Jika perwira dan prajurit TNI yang dikerahkan tidak bertugas di Unit Intelijen Kodim 0102/ 0103/ 0106/ 0108/0111/ 0113 dan atau tidak bertugas di Batalion Infanteri 111/113/114 yang berada di bawah kendali Korem 011/ Lilawangsa, TNI telah secara sistematis melanggar kesepakatan damai Helsinski. Namun, seperti kasus penarikan mundur seluruh satuan Kopassus dari Aceh, Mabesad dengan mudah dapat menunjukkan bahwa dalam Perintah Penugasan Satuan Tugas Operasi 2006–2009 tidak ada gelar pasukan nonorganik ke Aceh. Mabesad memang memiliki rencana kontingensi untuk menyiapkan beberapa batalion seperti YONIF 323/R dan YONKAV 1 dari Divisi Infanteri I Kostrad untuk digelar di Aceh, tetapi rencana tersebut tidak pernah diimplementasikan karena adanya stabilitas perdamaian Aceh.

Kerja Sama Militer AS

Tulisan Allan Nairn sangat terkait dengan kemungkinan terjadinya peningkatan kerja sama militer antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia. Tulisan tersebut menjadi bagian dari advokasi beberapa aktivis HAM internasional untuk mendesak AS agar menunda pemberian bantuan militer ke Kopassus. Sampai saat ini, Indonesia masih terganjal oleh Leahy Law dan dianggap belum layak untuk mendapatkan bantuan militer secara utuh dari AS.

Pada awal Februari 2010, kelompok aktivis HAM seperti East Timor and Indonesia Action Network (ETAN) dan Human Rights Watch telah menulis surat ke Menteri Pertahanan AS Robert M Gates untuk mendesak Pentagon agar tetap menunda pemulihan bantuan militer ke Indonesia. Jika Nairn berhasil membentuk opini bahwa TNI gagal untuk melakukan reformasi militer dan secara sengaja melanggarkan kesepakatan perdamaian Aceh,AS tidak punya pilihan lain selain membatalkan pemulihan bantuan militer kepada Kopassus.

Namun, TNI juga tetap memiliki pilihan untuk tidak terpengaruh oleh provokasi Nairn dan tetap bekerja keras untuk mewujudkan tentara profesional dalam suatu kerangka kerja demokratik yang tetap berkomitmen mewujudkan Indonesia yang damai.(*)

Andi Widjajanto
Dosen Pascasarjana Hubungan Internasional, FISIP Universitas Indonesia

Opini Okezone 26 Maret 2010