18 April 2010

» Home » Okezone » Fenomena Susno Duadji

Fenomena Susno Duadji

MANTAN Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri Komjen Pol Susno Duadji kembali membuat berita.

Tahun lalu Susno terkenal dengan isu “Cicak versus Buaya” saat muncul persoalan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Susno juga cukup mengejutkan ketika menjadi saksi yang meringankan dalam kasus mantan Ketua KPK Antasari Azhar yang dituduh terlibat dalam pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Buka-bukaannya dalam acara Metro TV “Kick Andy” pun membuat orang terperangah, belum lagi serial bukunya yang membeberkan segala keburukan dalam institusi Polri.

Kini Susno Duadji kembali membuat berita dengan membeberkan mafia kasus di tubuh Polri, khususnya yang terkait dengan kasus penggelapan pajak senilai Rp25 miliar yang melibatkan perwira tinggi Polri berbintang satu, Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri Brigjen Pol Raja Erizman dan Kapolda Lampung Brigjen Pol Edmon Ilyas (Seputar Indonesia, 22/3/2010). Di satu sisi, Susno dapat dikatakan sebagai “peniup peluit” yang membongkar berbagai kasus korupsi ditubuh Polri. Tapi disisi lain, ia dapat juga dikatakan sebagai “pembuat masalah” yang merusak citra Polri.

Fenomena Susno Duadji, dan dalam kadar yang lebih rendah Kombes Pol Williardi Wizar yang dituduh terlibat pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, yang mengungkap kebobrokan institusinya sendiri amat menarik untuk dikaji. Jika apa yang mereka katakan benar, ini saat yang amat tepat bagi Polri untuk membersihkan institusinya agar hukum dapat benar-benar ditegakkan. Dengan kata lain, pepatah yang mengatakan bahwa “jangan gunakan sapu yang kotor untuk membersihkan ruangan” merupakan suatu keniscayaan. Namun, jika apa yang dikatakan oleh Susno merupakan isapan jempol yang tidak mengandung kebenaran, maka ini juga saatnya yang tepat bagi Polri untuk menegakkan disiplin di jajarannya agar fitnah memfitnah dapat dihentikan.

Cara penyelesaian kasus melalui cara-cara penegakan hukum secara internal Polri tanpa melalui proses hukum yang dibuka seluasluasnya kepada publik akan menimbulkan dugaan bahwa yang dikatakan Susno benar. Susno juga tentunya tidak akan memiliki kesempatan untuk membuka seluas-luasnya apa yang dia ketahui karena penyelesaian dengan cara-cara internal sama dengan upaya untuk menutupi kasus yang sebenarnya terjadi. Tidak ada cara lain bagi institusi Polri selain mengajukan Susno dan orang-orang yang dituduhnya ke pengadilan, agar keadilan bagi para individu pelaku itu benar-benar dirasakan. Mengapa Susno dan Williardi Wizar “bernyanyi” yang tidak seirama dengan institusinya? Pertanyaan ini menarik untuk mendapatkan jawaban.

Apakah mereka berdua merasa tidak mendapatkan keadilan di dalam institusinya sendiri? Apakah mereka merasa “dikorbankan” dalam berbagai kasus hukum yang mereka alami? Mengapa pula Susno tidak mendapatkan dukungan dari institusinya sendiri ketika dia mengecilkan KPK sebagai “Cicak” yang berani melawan “Buaya”? Jika dikaji dari sisi disiplin institusi, yang dilakukan Susno Duadji dapat dikatakan tindakan indisipliner. Susno berbuat di luar kelaziman karena tidak melaporkan kasus-kasus yang dia ketahui kepada Kapolri agar diusut secara hukum.

Dia juga dapat dituduh melakukan bukan saja pencemaran terhadap institusinya sendiri, melainkan melanggar rahasia jabatan atau bahkan rahasia institusi, suatu yang hampir-hampir jarang terjadi di dalam institusi TNI. Di dalam TNI, berlaku rahasia TNI dan Negara yang harus dijaga serapat-rapatnya. Tidak heran jika perwira menengah atau tinggi TNI tidak mau membongkar rahasia TNI dan Negara walau yang bersangkutan sedang menghadapi proses hukum.

Tengok misalnya Kolonel Zulkifli Loebis tidak mau membuka perbedaan antara dirinya dan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution yang terjadi pada era 1950-an. Tengok pula para anggota Tim Mawar Kopassus yang menculik para aktivis pro-demokrasi pada 1997/1998 yang di pengadilan militer mengatakan apa yang mereka lakukan adalah atas inisiatif sendiri dan tidak ada perintah atasan. Ini adalah bagian dari upaya mereka untuk menjaga “Rahasia TNI dan Negara” yang mereka pegang teguh. Lalu mengapa di dalam tubuh Polri ada perwira menengah atau perwira tinggi berbintang tiga berani mengungkapkan rahasia yang mereka ketahui?

Apakah ini hanya merupakan ungkapan sakit hati karena tidak mendapatkan perhatian, dukungan atau pembelaan dari institusinya saat mereka menghadapi persoalan hukum, ataukah memang demikian buruknya disiplin di dalam diri anggota Polri. Mungkin pemeo yang berlaku di Polri adalah “Jika saya harus masuk penjara, saya akan bawa para komandan yang memerintahkan saya juga ikut ramai-ramai masuk penjara.” Di sini berlaku pembelaan diri menjadi sesuatu yang amat penting. Tiada cara lain untuk mendapatkan jawaban atas berbagai pertanyaan di atas kecuali melalui proses hukum yang adil.

Kita tidak dapat menuduh Susno sebagai “duri dalam daging” atau “pengkhianat institusi Polri” atau sebagai “problem maker.” Sebaliknya, kita juga tidak dapat mengatakan bahwa Susno adalah “pahlawan” yang membongkar aib di dalam institusi Polri. Kita berharap hukum positif dapat benar-benar diterapkan di negeri ini tanpa pandang bulu bahwa yang terkena kasus itu adalah aparat penegak hukum berpangkat perwira tinggi Polri. Kita harus memegang teguh asas praduga tak bersalah, baik terhadap Susno Duadji dan orang-orang yang dituduhnya sampai kasus-kasus tersebut diselesaikan melalui pengadilan yang terbuka dan adil.

Reformasi Polri bukanlah suatu yang manis untuk diucapkan, melainkan juga butuh keberanian besar untuk menerapkannya secara proporsional dan profesional. Semoga gonjang-ganjing politik internal di tubuh Polri cepat selesai dan Polri kembali mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.(*)

IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Opini Okezone 23 Maret 2010