18 April 2010

» Home » Suara Merdeka » Gaji Tunggal, Ganda, atau Remunerasi

Gaji Tunggal, Ganda, atau Remunerasi

Topik sistem single salary ini mencuat karena drastisnya kenaikan penerimaan (harta) pejabat dari berbagai honor di luar gaji resminya.

MEMANGGAPI pemberitaan mengenai besarnya honor (baca: take home pay) yang diterima pejabat, Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Mochamad Jasin pernah menegaskan bahwa single salary system dapat diterapkan bila sistem gaji sudah baik dan ada remunerasi, maka sudah tidak perlu lagi honor-honor di luar gaji.


Topik sistem single salary ini mencuat karena drastisnya kenaikan penerimaan (harta) pejabat dari berbagai honor di luar gaji resminya. Kalau kita jujur, akar masalahnya adalah terjadinya disparitas (ketimpangan) penghasilan antar-PNS.

Awalnya setiap PNS menerima penghasilan sama sesuai dengan peraturan gaji pegawai negeri sipil (PGPNS) yang kadang dipelesetkan menjadi pinter gak pinter penghasilannya sama. Selanjutnya muncul honor dan tunjangan lain yang nilainya variatif yang menimbulkan ketimpangan.

Misalnya, tambahan uang lauk pauk yang tidak sama antara PNS dan anggota TNI/Polri, antara PNS pusat dan daerah, adanya insentif upah pungut bagi instansi penghasil, honor proyek untuk instansi pembelanja, dan adanya tunjangan kesra yang bervariasi antarlembaga ataupun antardaerah, dan adanya tunjangan khusus, bahkan penghasilan khusus, untuk profesi tertentu (guru bersertifikasi misalnya).

Secara harfiah remunerasi adalah payment atau penggajian, bisa juga uang ataupun substitusi dari uang sebagai imbal balik suatu pekerjaan, dan bersifat rutin, tidak termasuk uang lembur atau honor. Hal ini diterapkan guna mendorong SDM yang berkualitas, memelihara SDM yang produktif sehingga tidak pindah ke sektor swasta dan membentuk perilaku yang berorientasi pada pelayanan serta mengurangi risiko KKN. 

Secara teoritis dapat dibedakan dua sistem remunerasi, yaitu yang mengacu pada teori Karl Marx dan yang mengacu pada teori neoklasik. Kedua teori tersebut masing-masing memiliki kelemahan. Karena itu, sistem pengupahan yang berlaku dewasa ini selalu berada di antara dua sistem tersebut. Berarti bahwa tidak ada satupun pola yang dapat berlaku umum.

Ada lima prinsip yang akan diterapkan dalam reformasi sistem remunerasi yaitu; 1. Sistem merit, yaitu penetapan penghasilan pegawai berdasarkan nilai jabatan; 2. Adil, dalam arti jabatan dengan beban tugas dan tanggung jawab pekerjaan dengan bobot yang sama dibayar sama dan pekerjaan yang menuntut pengetahuan, keterampilan serta tanggung jawab lebih tinggi, dibayar lebih tinggi; 3. Layak, yaitu dapat memenuhi kebutuhan hidup layak (bukan minimal) ; 4. Kompetitif, di mana gaji PNS setara dengan gaji pegawai dengan kualifikasi sama di sektor swasta, guna menghindari braindrain; 5. Transparan, dalam arti PNS hanya memperoleh gaji dan tunjangan resmi.
Belum Ada Peraturan Pada 2 Februari 2010, Menkeu Sri Mulyani mengatakan belum ada kenaikan, baik gaji maupun pemberian remunerasi bagi pejabat (selain ketentuan remunerasi sebelumnya, di antaranya untuk pegawai Depkeu) karena belum ada peraturan presiden sebagai dasar pemberian remunerasi itu,  meskipun sudah dianggarkan dalam APBN 2010 dan sistemnya sudah siap.

Yang cukup mengejutkan adalah langkah Gubernur DKI Jakarta yang menangkap inspirasi ini dengan mengeluarkan Pergub Nomor 215 Tahun 2009 tanggal 30 Desember 2009 yang menghapus honor dan tunjangan PNS, dan menggantinya dengan tunjangan kinerja daerah (TKD) dengan besaran minimal Rp 2,9 juta maksimal Rp 50 juta dengan grade 1 s.d. 17.

Anggaran yang disiapkan untuk itu Rp 3,5 triliun. Menurut Gubernur DKI Fauzi Bowo, TKD adalah pengganti honor, TPP, dan uang kesra yang dihapus guna menertibkan administrasi dan untuk memacu kinerja.

Gebrakan di DKI tentu menarik menjadi objek studi banding bagi Pemprov Jateng ataupun pemda tingkat II, ketimbang menunggu PP yang mengatur upah pungut atas pajak dan retribusi daerah sebagai tindak lanjut UU Nomor 28  Tahun 2009.

TKD ini lebih menggiurkan daripada remunerasi yang diberlakukan di Depkeu sejak 2007 yang berlabelkan Tunjangan Khusus Pembinaan Keuangan Negara (TKPKN) dengan besaran minimal Rp1,33 juta maksimal Rp 46,95 juta dengan grade 1 s.d. 27.

Remunerasi berlaku pula di  BPK berlabelkan Tunjangan Khusus Pembinaan Kegiatan TKPK) dengan besaran minimal Rp 1,31 juta maksimal Rp.41,47 juta dengan grade 1 s.d. 27.

Dengan adanya TKD di DKI, TKPKN di Depkeu, TKPK di BPK dan remunerasi bentuk lainnya di departemen dan lembaga lain, maka yang terjadi adalah twin salary belum single salary, karena masih ada gaji berdasarkan PGPS dan remunerasi dengan labelnya masing-masing.(10)

— Alimin Suprayitno SH MSi, PNS pada Dinas Pendapatan dan Pengengolaan Aset Daerah (PPAD) Provinsi Jateng
Opini Suara Merdeka 19 April 2010