18 April 2010

» Home » Okezone » Gayus, Pajak, dan Pembangkangan Publik

Gayus, Pajak, dan Pembangkangan Publik

Kasus Gayus Halomoan Tambunan dalam beberapa hari terakhir menjadi pembicaraan yang hangat. Kasus ini telah menampilkan Susno Duadji sebagai aktor utama pembongkaran kasus dugaan mafia hukum.

Satgas Pemberantasan Mafia Hukum juga mulai bergerak untuk mencari titik terang dari kasus yang menjadi sorotan utama publik pascaepisode Pansus Bank Century. Bahkan kasus ini seakan-akan telah menjadi pleidoi yang ampuh bagi Susno Duadji. Susno yang selama ini dipojokkan dengan kasus kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kali ini seakan menjadi jagoan yang sakti mandraguna.

Bahkan namanya disebut-sebut menjadi kandidat ketua baru KPK. Kasus Gayus diduga terkait dengan mafia peradilan yang melibatkan kantor dirjen pajak, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kasus Gayus ternyata berhasil memicu munculnya gerakan boikot bayar pajak. Masyarakat lewat media jejaring sosial Facebook lagi-lagi mencoba mengubah diri sebagai media penekan sosial yang energik dan efektif. Gerakan boikot membayar pajak merupakan wujud dari pembangkangan publik.

Pembangkangan publik terhadap pemerintah haruslah didudukkan pada porsinya. Pembangkangan publik dapat terjadi karena beberapa hal, di antaranya, pertama, publik menganggap bahwa negara telah melanggar konstitusi..Semua hal dan aktivitas pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis oleh pemerintah kepada publik. Ini menjadi amat penting manakala kesepakatan publik yang diwujudkan melalui konstitusi merupakan “kepastian” dari setiap pihak dalam suatu negara yang harus dihormati oleh siapa pun, termasuk negara.

Oleh karena itu, pemerintah selaku pemegang kekuasaan untuk melaksanakan konstitusi diberi wewenang untuk menentukan kebijakan publik. Kebijakan publik yang berada dalam ranah kekuasaan pemerintah harus dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi roh dibentuknya konstitusi dasar. Nilai-nilai keadilan, kebenaran, dan kesamaan di muka hukum harus tercakup di dalamnya. Kedua, publik menganggap bahwa negara telah melakukan aktivitas yang bertentangan dengan kehendak umum publik.

Kebijakan publik selama ini dilaksanakan oleh pemerintah, sebab hanya pemerintahlah yang diakui publik lain memiliki kewenangan untuk mengatur hajat hidup yang melibatkan banyak orang. Pemerintah dalam kebijakan publik “diharuskan” memiliki responsivitas, akuntabilitas, dan transparansi. Responsivitas artinya pemerintah diharuskan membuka lebar telinga untuk menampung segala masukan stakeholders dalam masalah tertentu, tidak hanya mendengar.

Lebih jauh dari itu, hal tersebut harus benar-benar dijadikan acuan dalam penentuan akhir sebuah kebijakan. Di sinilah nilai demokrasi itu menjadi roh kebijakan: kebijakan yang dari rakyat, oleh, dan untuk rakyat. Akuntabilitas kebijakan mengharuskan pemerintah memiliki rasa tanggung jawab bahwa yang dilakukannya harus dapat dipertanggung jawabkan kepada publik.

Pertanggungjawaban ini bersumber pada nilai-nilai yang diakui publik. Adapun nilai transparansi merupakan tuntutan bahwa pemerintah harus mau dan mampu bersikap terbuka atas segala aktivitas yang dilakukannya, membuka ruang-ruang untuk menerima kritik dan masukan, serta evaluasi setiap kebijakan oleh publik.***

Ketiga, publik mengira bahwa pemerintah telah melakukan aktivitas yang memihak pada komunitas tertentu (market power misalnya). Hal ketiga ini masih terkait dengan kebijakan publik, yaitu publik menganggap bahwa kebijakan publik yang diambil pemerintah tidak memihak pada keinginan umum publik dan lebih jauh lagi telah memihak suatu kekuatan tertentu.

Jika hal ini yang terjadi, nilai-nilai demokrasi dalam suatu kebijakan akan hilang dengan otomatis, sebab pemerintah sebagai pemegang kekuasaan telah “silau” dengan keuntungan yang didapat lewat “selingkuhnya” dengan kekuatan lain selain publik itu sendiri. Kekuatan pasar mungkin salah satu kekuatan yang dapat merayu pemerintah untuk berpaling dari kepentingan publik yang umum.

Posisi pemerintah tak selalu menguntungkan. Terkadang memang pemerintah didudukkan pada posisi yang amat sulit, tetapi seharusnya pemerintah tetap concern dengan kepentingan publik dan kesejahteraan sosial (Indiahono, 2009). Fenomena Gayus semakin diperkuat dengan laporan bahwa ada sejumlah anggota DPR yang belum memiliki NPWP. Artinya, aktor elite yang memiliki pendapatan berlimpah, aktor yang diharapkan menjadi teladan justru memberikan contoh yang negatif kepada publik.

Publik tentu berhak geram, yang kecil dikejar-kejar untuk bayar pajak, kok yang besar dibiarkan? Pembangkangan publik dalam wujud tidak membayar pajak harus dimaknai sebagai protes warga negara yang menginginkan keadilan dan hukum ditegakkan kepada seluruh warga negara. Selama ini publik disuguhi berbagai argumentasi yang memperkuat bahwa remunerasi atau peningkatan kinerja pegawai pajak dengan diikuti peningkatan pendapatan akan menyumbat syahwat korupsi.

Argumentasi ini diterima publik dengan pasrah meski ada keperihan yang dipendam. Bagaimana tidak? Di kala banyak orang-orang miskin di negeri ini berada dalam lembah-lembah kemiskinan, pegawai pajak ternyata mendapatkan kesejahteraan yang lebih dari cukup. Perbedaan pendapatan antara pegawai pajak dengan pegawai yang lain pun selama ini masih dapat dipendam oleh mereka.

Kekesalan publik mencuat ketika pegawai pajak telah menerima pendapatan yang jauh lebih besar, ternyata mereka masih dapat berlaku culas, bersekongkol, dan berkongsi dengan mafia pajak dan hukum. Publik geram bukan kepalang, hal yang selama ini hanya isu atau rahasia umum, yaitu bahwa institusi pajak mampu “bermain dalam aktivitas suap dan korupsi”, ternyata tiba-tiba terungkap secara kasatmata.

Pembangkangan publik dalam gerakan antibayar pajak harus direspons secara cepat oleh pemerintah. Pemerintah harus mampu berdialog dengan orang-orang yang bergerak untuk tidak membayar pajak. Pemerintah harus meyakinkan bahwa institusi pajak benar-benar bersih dari korupsi dan “hubungan sumbang” dengan para pengemplang pajak. Usaha meyakinkan ini harus diikuti dengan reformasi birokrasi di institusi pajak secara transparan dan akuntabel.

Pemerintah harus memberikan ruang bagi terjadinya pengawasan yang fair kepada institusi pajak. Semoga di masa yang akan datang akan berlaku ungkapan: “orang bijak membayar dan mengawasi penggunaan pajak”. Bagi institusi pajak juga berlaku: “orang pajak tak pernah membajak pajak”. Semoga.(*)

Dwiyanto Indiahono
Kepala Lab Manajemen dan Kebijakan Pembangunan
FISIP Unsoed Purwokerto

Opini Okezone 12 April 2010