18 April 2010

» Home » Okezone » Mbah Priok 'Hidup' Lagi?

Mbah Priok 'Hidup' Lagi?

Kerusuhan di kawasan Tanjung Priok berkaitan dengan upaya Satpol PP membersihkan lahan sekitar makam Mbah Priok mengingatkan orang pada kerusuhan di kawasan yang sama pada 1980-an.

Walaupun pemicunya berbeda, tapi banyak berkaitan dengan sikap dan tindakan aparat pemerintahan, khususnya Satpol PP, dalam berhubungan dengan rakyat kebanyakan. Kesan arogan, adigang-adigung-adiguno, sopo siro sopo ingsun (Jawa) yang secara ringkas bisa diartikan sebagai suatu tindakan sewenang-wenang pejabat atau seseorang yang memiliki kekuasaan, cukup kuat dibalik peristiwa Priok tersebut.

“Hei, kerusuhan Priok, Rabu kemarin itu menandai Mbah Priok ‘hidup’ lagi,” celetuk seorang teman. Celakanya, aparat selalu mempunyai kuasa untuk menghindari tanggung jawab atas peristiwa Mbah Priok di atas dengan menyatakan bahwa tidak ada maksud dari aparat pemerintah menggusur makam Mbah Priok.

Mereka bahkan dengan enteng menyatakan bahwa makam Mbah Priok sebenarnya sudah tidak ada lagi di kawasan itu karena sudah pernah diserahterimakan Dinas Pariwisata dan ahli waris kepada PT Pelindo Jaya. Mereka, aparat itu, berdalih bahwa kerusuhan itu lebih karena rakyat salah paham dan salah informasi. Karena itu, aparat pemerintah dan Satpol PP tidak salah. Seolah kesalahpahaman rakyat dan ketidakakuratan informasi rakyat menjadi biang pemicu sehingga tidak perlu harus ada yang bertanggung jawab dan disalahkan.***

Kiranya di sini perlu semua pihak merenung ulang. Jika saja pemicu kasus Mbah Priok adalah kesalahanpahaman atau ketidakakuratan informasi yang diterima rakyat, pertanyaan yang perlu dijawab ialah mengapa bisa hal itu terjadi? Mengapa rakyat salah paham? Mengapa informasi yang diterima masyarakat lapis bawah itu tidak akurat? Dalam situasi seperti demikian, harus dimengerti bahwa bukanlah rakyat yang salah paham, melainkan aparatlah yang salah memahami cara berpikir dan cara merasa rakyat kebanyakan tersebut.

Di sinilah pentingnya kearifan hak asasi manusia (HAM) dalam setiap perumusan kebijakan pemerintahan, dalam setiap komunikasi dengan rakyat dan dalam setiap eksekusi kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak. Jika karena rakyat kurang informasi atau salah mengerti, lalu rakyat bertindak anarkistis, merusak kendaraan dinas aparat, aparatlah yang harus bertanggung jawab karena gagal membuat rakyat mengerti dan memahami persoalan yang disengketakan.

Jika maksud pemerintah bukanlah hendak menggusur makam Mbah Priok, patut pertanyakan apa yang telah dilakukan jika rakyat kebanyakan memahami “serbuan” Satpol PP itu sebagai upaya menggusur makam pepunden yang mereka hormati. Ini jelas merupakan kecerobohan aparat dalam menyosialisasikan program-programnya. Apalagi jika rakyat yang memandang suci Mbah Priok itu sampai tidak mengerti jika kerangka Mbah Priok ternyata sudah dipindahkan dari lokasi yang disucikan itu justru lebih berbahaya karena rakyat bisa merasa telah ditipu.***

Peristiwa Mbah Priok itu menggambarkan suasana kepemerintahan ketika aparat penegak hukum merasa menjadi hukum itu sendiri, bertindak atas tafsirnya sendiri kepada rakyat yang mestinya dilindungi. Jika demikian, jika DPRD pun konon belum diajak dialog, peristiwa berdarah itu akan kembali terjadi. Aparat sering berdalih bahwa tindakannya atas suatu benda atau wilayah didasarkan pertimbangan yang rasional bagi kepentingan rakyat banyak.

Sayangnya, pertimbangan bagi kepentingan rakyat itu belum dengan baik didialogkan dengan rakyat sehingga mereka memahami dan mengerti yang untuk itu membutuhkan waktu cukup lama yang mungkin tidak ekonomis, tidak produktif, bahkan melelahkan. Jika demikianlah cara berpikir dan bertindak dari aparat pemerintahan, wajar jika harus dibayar dengan peristiwa Mbah Priok.

Kiranya perlu disadari bahwa aparat mestinya memahami betul bahwa mereka diberi tugas dan menerima wewenang untuk kepentingan dan dari rakyat banyak. Alasan bahwa makam Mbah Priok sudah diserahkan ke PT Pelindo Jaya, jika tanpa dipahami rakyat, justru bisa menjadi pemicu kemarahan masa yang lebih besar. Aparat menyatakan masyarakat telah salah informasi, itu menjadi penanda sang aparat telah gagal memahami peran, fungsi, wewenang, dan cara berpikir dan bertindak rakyat banyak yang harus mereka lindungi dan harus mereka layani.

Di sisi lain, peristiwa Mbah Priok, yang langsung dan tidak langsung, melibatkan emosi keagamaan itu juga seharusnya mendorong elite dan cendekiawan agama (Islam) untuk mengkaji ulang model dakwah dan komunikasi yang selama ini mereka lakukan dengan umat di lapis bawah. Lapisan elite keagamaan di tingkat nasional bisa dengan gampang mengambil jarak dari benda-benda dan kawasan yang disucikan oleh komunitas paling bawah, tapi tidak mudah bagi elite di tingkat kawasan itu.

Suatu benda atau wilayah yang disucikan itu memang dan mungkin merupakan benda dan wilayah rasional dan sekuler, tapi bagi rakyat suatu benda atau wilayah dianggap suci dan keramat dengan segala aura magis, politis, dan ekonomis, yang mestinya dilindungi aparat. Tidak gampang bagi rakyat lapis bawah itu untuk meredakan emosi kekeramatannya dengan menundanya besok hari lalu berdialog dengan kepala dingin karena ruhnya telah dicemarkan, dilecehkan, dan dicerabut dari kehidupannya.

Jika rakyat tanpa label itu diberi ruang untuk berbicara lantang, mungkin mereka akan berkata, ”Hai, orang-orang penting negeri ini, dengarlah kami setelah sekian lama kami mendengarmu!” Saatnya suara rakyat diperlakukan sebagai suara tuhan, bukan sekadar slogan praktik demokrasi, tapi sebagai ruh dari setiap tindakan berdemokrasi itu sendiri.

Atau, kita memang tidak pernah jera berbuat keliru, congkak, penuh gengsi, merasa benar sendiri lebih cerdas dan lebih pintar dibandingkan dengan rakyat kebanyakan sehingga Mbah Priok “bangkit kembali” melawan kesewenang- wenangan, konon seperti legenda yang hidup saat sang habib memasuki wilayah negeri ini berabad lalu di zaman koloni. Ketahuilah! Orang yang tampak biasa, rakyat kebanyakan yang tidak pernah makan sekolahan, seringkali lebih arif daripada lulusan perguruan tinggi ternama jika tanpa hati.(*)

Abdul Munir Mulkhan
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Anggota Komnas HAM

Opini Okezone 16 April 2010